Powered By Blogger

Sunday 29 July 2018

Segitiga Cinta ; Sekolah, Guru dan Orang tua murid


Hari ini aku terlibat diskusi yang cukup panjang dengan istri. Sore itu tidak tentang Gylfie putri pertama kami, bukan juga cerita Gylie si bungsu, bukan pula tentang teras depan rumah yang sudah perlu dipel. Sore adalah waktu berkualitas bagi kelurga kami, setelah pagiaku berperan sebagai Ayah berangkat pagi mengantar anak pertama kami yang sudah SD lanjut aku ke kampus bertugas dan istriku juga sudah berangkat lebih pagi dari kamis semua. Hanya si bungsu, yang sendiri tidak terburu dipacu oleh waktu dsetiap pagi. Dan kami selalu mengakhiri ritual sibuk pagi ini di sore hari ketika semua sudah berada dirumah. Bercerita masing – masing, Gylfie dengan pengalaman sekolahnya,  Ayah dengan cerita kampus dan mama hari ini menggebu, refleksi masalah sekolah yang tak kunjung usai.

Ada bentuk yang tidak ideal dari “hubungan” antar guru, sekolah dan orang tua murid. Untuk lebih mudahnya, ada pola komunikasi yang tidak didasari oleh trust diantara tiga pilar pendidikan disekolah ini. Sebagai ilustrasi, misalnya ketika Guru me WA wali murid sejara japri untuk mengingatkan pekerjaan rumah yang tidak selesai, tetapi tidak ditanggapi oleh orang tua sehingga di posting di grup Wali Murid. Ada orang tua yang tidak terima dan merasa malu karena diingatkan melalui WA grup padahal sebelumnya wali kelas sudah mengingatkan melalui wa pribadi dan perlu di garis bahwahi, guru melakukan ini demi kemajuan belajar siswa. Bukan atas dasar menghambat perkembangan belajar siswa apalgi mempermalukan orang tua.

Dari ilustrasi pendek diatas, ada beberapa elemen penting yang tidak ada sebagai syarat bagaimana sekolah menjadi lembaga yang membantu anak didik sukses belajar dengan kerjasama bantuan sekolah dan orang tua. 

Akar masalahnya, menurut saya adalah, sikap mental dan keterbukaan antara sekolah guru dan orang tua yang harus lebih mesra. Guru sekolah dan orang tua harus mempunyai kesiapan mental untuk dilibatkan dan menerima informasi yang tidak hanya kabar baik saja tentang perkembangan anaknya. Guru adalah yang paling tahu yang terjadi di sekolah setiap harinya dan orang tua adalah yang paling punya akses aktivitas anak didik di rumah sementara sekolah adalah paying yang siap menjadi jembatan dua informasi penting ini. Tetapi, Guru dan Orang tua tidak bisa berkomunikasi dengan baik dalam pertukaran informasi ini jika tidak siap mental, Guru berpikir ya kita sudah banyak berusaha membantu anak ya guru sudah cukup disekolah saja sementara Orang tua tidak boleh beranggapan sudah bayar ke sekolah jadi hanya siap menerima kabar baik dari  sekolah tentang anaknya saja. Padahal  apa yang dilakukan sekolah adalah demi membantu prestasi belajar anak didik sendiri. Guru juga tidak seharusnya gentar dan cenderung tidak menyampaikan hal atau teguran yang dapat membantu perbaikan anak karena khawatir orang tua akan marah dan tidak terima. Jika Guru tau bahwa mereka mengkomunikasikan masalah anak ke orang tua itu baik dan orang tua juga tau bahwa ada hal yang perlu diperbaiki dan diketahui oleh orang tua itu penting tentu bukan kecurigaan yang terjadi atau bukan saling segan yang terjadi tetapi hubungan yang mesra penuh cinta tanpa prasangka.
Sehingga memang mentalitas terbuka dan berpikir bahwa masa anak bersekolah  adalah masa  proses yang butuh tuntunan dan perbaikan maka cinta segitiga mesra antara sekolah guru dan orang tua akan tercipta.                      

No comments:

Post a Comment