Hari
ini aku terlibat diskusi yang cukup panjang dengan istri. Sore itu tidak
tentang Gylfie putri pertama kami, bukan juga cerita Gylie si bungsu, bukan
pula tentang teras depan rumah yang sudah perlu dipel. Sore adalah waktu
berkualitas bagi kelurga kami, setelah pagiaku berperan sebagai Ayah berangkat
pagi mengantar anak pertama kami yang sudah SD lanjut aku ke kampus bertugas
dan istriku juga sudah berangkat lebih pagi dari kamis semua. Hanya si bungsu,
yang sendiri tidak terburu dipacu oleh waktu dsetiap pagi. Dan kami selalu
mengakhiri ritual sibuk pagi ini di sore hari ketika semua sudah berada
dirumah. Bercerita masing – masing, Gylfie dengan pengalaman sekolahnya, Ayah dengan cerita kampus dan mama hari ini
menggebu, refleksi masalah sekolah yang tak kunjung usai.
Ada
bentuk yang tidak ideal dari “hubungan” antar guru, sekolah dan orang tua
murid. Untuk lebih mudahnya, ada pola komunikasi yang tidak didasari oleh trust diantara tiga pilar pendidikan
disekolah ini. Sebagai ilustrasi, misalnya ketika Guru me WA wali murid sejara
japri untuk mengingatkan pekerjaan rumah yang tidak selesai, tetapi tidak
ditanggapi oleh orang tua sehingga di posting di grup Wali Murid. Ada orang tua
yang tidak terima dan merasa malu karena diingatkan melalui WA grup padahal
sebelumnya wali kelas sudah mengingatkan melalui wa pribadi dan perlu di garis
bahwahi, guru melakukan ini demi kemajuan belajar siswa. Bukan atas dasar
menghambat perkembangan belajar siswa apalgi mempermalukan orang tua.
Dari
ilustrasi pendek diatas, ada beberapa elemen penting yang tidak ada sebagai
syarat bagaimana sekolah menjadi lembaga yang membantu anak didik sukses
belajar dengan kerjasama bantuan sekolah dan orang tua.
Akar
masalahnya, menurut saya adalah, sikap mental dan keterbukaan antara sekolah
guru dan orang tua yang harus lebih mesra.
Guru sekolah dan orang tua harus mempunyai kesiapan mental untuk dilibatkan dan
menerima informasi yang tidak hanya kabar baik saja tentang perkembangan
anaknya. Guru adalah yang paling tahu yang terjadi di sekolah setiap harinya
dan orang tua adalah yang paling punya akses aktivitas anak didik di rumah
sementara sekolah adalah paying yang siap menjadi jembatan dua informasi
penting ini. Tetapi, Guru dan Orang tua tidak bisa berkomunikasi dengan baik
dalam pertukaran informasi ini jika tidak siap mental, Guru berpikir ya kita
sudah banyak berusaha membantu anak ya guru sudah cukup disekolah saja
sementara Orang tua tidak boleh beranggapan sudah bayar ke sekolah jadi hanya
siap menerima kabar baik dari sekolah
tentang anaknya saja. Padahal apa yang
dilakukan sekolah adalah demi membantu prestasi belajar anak didik sendiri. Guru
juga tidak seharusnya gentar dan cenderung tidak menyampaikan hal atau teguran
yang dapat membantu perbaikan anak karena khawatir orang tua akan marah dan
tidak terima. Jika Guru tau bahwa mereka mengkomunikasikan masalah anak ke
orang tua itu baik dan orang tua juga tau bahwa ada hal yang perlu diperbaiki
dan diketahui oleh orang tua itu penting tentu bukan kecurigaan yang terjadi
atau bukan saling segan yang terjadi tetapi hubungan yang mesra penuh cinta
tanpa prasangka.
Sehingga
memang mentalitas terbuka dan berpikir bahwa masa anak bersekolah adalah masa proses yang butuh tuntunan dan perbaikan maka
cinta segitiga mesra antara sekolah guru dan orang tua akan tercipta.
No comments:
Post a Comment